Ikhlas




Malam dimana postingan ini diunggah, saya baru saja selesai berdiskusi dengan salah seorang teman. Kami seumuran, hanya saja ia satu tingkat di atas saya. 

Bukan, bukan karena saya gap year, melainkan bulan kelahiran saya lebih ideal jika mengikuti tahun ajaran satu tingkat di bawah dia *iya in aja.

Diantara kami saling bertanya kabar dan progress masing-masing. Tidak untuk saling mengunggulkan atau membandingkan diri sendiri, melainkan hanya ingin mengerti perkembangan sejauh ini. 

Dari obrolan santai kami, ada banyak hal yang justru membuat tidak percaya diri. Kalau kata orang sih, quarter life crisis. Mulai mempertanyakan akan kemana hidup yang saya tempuh ini? 

Setiap teman saya tersebut menceritakan progress apa saja yang telah ia lakukan, perasaan saya semakin berkecamuk. Setelah kami selesai membahas satu topik diskusi, timbul pertanyaan mengapa saya belum bisa seperti dia.

Selain quarter life crisis, ada hal lain yang membuat saya merasa bahwa saya bisa berada di posisi teman saya. Ya, saya merasa pencapaian yang telah ia lakukan selama ini, merupakan apa yang saya inginkan daridulu. 

Dahulu..

Saat anak-anak lainnya bercita-cita menjadi dokter atau polwan, saya kecil telah menetapkan pilihan menjadi seorang guru. Lebih tepatnya menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. 

Jika teman-teman saya menjadikan bahasa Inggris, ilmu pengetahuan alam, atau matematika sebagai pelajaran kesukaan, saya sendiri selalu memilih bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran favorit.

Meski sering dipandang remeh, saya tetap mencintai pelajaran ini hingga duduk di bangku perkuliahan.

Tapi cita-cita saya tersebut dipatahkan oleh kedua orang tua saya, yang notabene harusnya mendukung pilihan putra-putrinya. Beliau tidak merestui jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia yang rencananya akan saya ambil di salah satu Universitas Negeri di Surabaya. Sedih, marah, berkecamuk. 

Teman yang saya kisahkan di atas, menempuh pendidikan sesuai apa yang saya impikan selama ini, dan telah menerbitkan karya pertamanya.

Dua hal yang merepresentasikan keinginan saya sedari dulu. Kuliah sembari menulis buku.

Kendati begitu, saya harus tetap berjalan. Namun ketika mengingat kembali cita-cita saya tersebut, ada luka yang belum tersembuhkan. 

Mimpi kecil saya mendidik generasi bangsa memang tidak putus, masih banyak cara lain bagi saya untuk menjadi tenaga pengajar. Tapi keinginan memperdalam bidang saya sukai dari belia tersebut harus saya relakan begitu saja. 

Ikhlas, adalah satu kata penuh kekuatan. Meski tak dapat menyembuhkan, setidaknya dengan ikhlas, ada langkah yang tidak terhenti pada satu titik. Move on. Sebab tidak semua yang kita pilih, adalah yang terbaik untuk kita.

Apa pilihan tersulit dalam hidup yang membuatmu berusaha untuk ikhlas? Yuk, berbagi cerita melalui kolom komentar.

Komentar

Postingan Populer