Lantas, Siapa Yang Patut Disalahkan?




Seperti biasa, setiap sore saya dan kawan-kawan pulang menuju kos menggunakan ojek online yakni gr*b. Sengaja disensor biar susah nebaknya.  Selain lebih murah dari transportasi umum lainnya, tentunya lebih cepat sampai. Belum lagi bila kita menggunakan promo yang ditawarkan, wah jadi bisa menghemat pengeluaran. Ya maklum, anak kos. Kejadian ini terjadi dua hari lalu.

Setelah menemukan driver, saya sebagai pelanggan ditelfon oleh si driver. Saat mendengar suaranya ternyata seorang wanita, awalnya bingung yang nelfon ini si driver apa bukan. Rupanya si mbak berkata kalau ia menggunakan akun milik adiknya. Setelah mengetahui hal itu, reaksi saya biasa saja. Bukan sekali dua kali, sudah sering saya menemui yang seperti ini. Positip thinking aja, mungkin adiknya lagi sakit atau ada hal lain yang harus diselesaikan.

Di maps, ikon mobil si mbak keliatan muter-muter alias kaya bingung mau lewat mana. Ketika sampai, si mbak meminta maaf seakan merasa bersalah sudah membuat pelanggannya menunggu lama. Kesan saya kepada si mbak baik dan ramah, cantik pula hehehe. Beberapa kali si mbak bertanya pada kami seakan untuk mencairkan suasana. Ah si mbak bisa aja.  


Ngobrol, ngobrol, ngobrol eh kita diceritain kalau sebenarnya..


Beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan ojek online sedang meradang. Ketika si mbak bilang kalau baru ada kasus driver ojol hilang, saya langsung bertanya "Bukannya sudah selesai masalahnya ya, mbak?". 

Ternyata belum.

Akhir-akhir ini mereka kembali dibuat tidak nyaman oleh pihak-pihak tersebut. Pihak-pihak tersebut merasa bahwa dengan adanya ojol, transportasi umum lainnya yang sudah lebih lama beroperasi sebelum ojek online merasa sepi penumpang. Padahal, menurut si mbak akhir-akhir ini ojek online pun juga mengalami hal serupa. 


Bukan itu yang membuat kaget, tapi saat si mbak menceritakan tentang


Beberapa pengalaman buruknya selama menjadi driver. Si mbak bercerita kalau ia pernah didatangi oleh beberapa pria dengan tujuan memergoki ojek online yang nongkrong di zona mereka. Untungnya, penumpang yang ada di dalam mobil ikut bersandiwara dan berkata bahwa si mbak driver ini adalah kakaknya. Wah, untung si penumpang pinter akting juga, kalau engga bisa diamuk massa nih si mbak. 

Si mbak juga pernah melemparkan hp-nya di bawah jok saking paniknya saat menghadapi kejadian serupa. Denger ceritanya aja udah ngeri, apalagi si mbak yang mengalami sendiri. Ada pula driver ojol yang dihajar, dipukul bahkan dipalak. Semua upaya itu dilakukan oknum tidak bertanggung jawab dengan tujuan para driver ojek online kapok dan tidak berani narik lagi. Toh rejeki sudah diatur, kenapa harus berebut? Sabar ya, mbak.

"Pernah saya dapet penumpang orang Malaysia, awalnya takut, siapa tahu kan mereka nggak mau kalau mobil dan drivernya nggak sama kaya yang di aplikasi. Ternyata di Malaysia juga gitu, ya sama kaya Indonesia lah. Tapi sekarang ojek online sudah ada undang-undangnya, jadi aman."

Dalam hati saya bergumam, wah enak dong kalau gitu. Tak hanya para driver, penumpang ojek online berharap hal serupa juga ada di Indonesia. Membentuk kebijakan baru misalnya, agar para pelanggan ojek online tak lagi risau dan merasa aman-nyaman. Di satu sisi para supir angkot merasa dirugikan dengan ojek online yang lebih dipilih oleh masyarakat karena memiliki banyak kelebihan, di sisi lain ojek online dinilai tega merenggut rejeki supir angkot karena menawarkan berbagai fasilitas dengan harga yang bisa dibilang bersaing cukup ketat dengan supir angkot. 


Lantas jika sudah begini, siapa yang sepatutnya disalahkan?



Komentar

  1. hmmm, kita termasuk generasi milenial kalau aku menyebutnya generasi perubahan sepatutnya kita berinovasi lagi agar kedua pihak ini tidak berselisih 😂😂 wehehehe, bingung juga yak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer