Seperti Kata Pepatah (Kisah Kala Melancong Part II)


Sama seperti postingan sebelumnya, kali ini saya akan membahas hal menarik yang saya temui di kereta ketika saya hendak kembali ke Malang. Momen ini terjadi sekitar setahun yang lalu saat saya masih duduk di kelas 1 SMK. Yuk simak!

--

Sepertinya akhir pekan sebelum-sebelumnya, setelah merasakan penat di sekolah selama senin hingga jumat, kini saatnya pulang ke rumah untuk melepas rindu dengan keluarga. Suasana sabtu siang di stasiun Malang kala itu cukup ramai, dan saya yang membeli tiket dadakan akhirnya harus rela berdiri Malang-Sidoarjo atau kurang lebih selama dua jam karena tidak mendapat bangku. 

Dengan kondisi badan yang lelah karena kegiatan pramuka yang baru berakhir sekitar satu setengah jam yang lalu, saya mau tak mau harus menahan kelelahan hingga sampai di rumah, padahal rencana saya adalah tidur selama perjalanan. Ya mau gimana lagi.

Saat kereta datang, para calon penumpang menaiki gerbong tujuan masing-masing, terkecuali beberapa penumpang berdiri seperti saya yang memutuskan untuk tidak terburu-buru menaiki kereta. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki kecil berwajah oriental dan berkulit putih, kira-kira dari pawakannya ia masih kelas 5 atau 6 SD, ia mencolek bahu saya dan bertanya “Gerbong 4 dimana kak?”. 

Dengan cepat mata saya menengok kanan kiri dan mencari gerbong yang bertuliskan angka nomor 4, “Oh itu dek..” namun ia masih terihat bingung dan tidak tahu harus kemana. Tanpa pikir panjang, saya akhirnya memutuskan untuk mengantarnya padahal saya masih belum tahu apakah ia bersama keluarganya atau tidak, dengan berjalan cepat kami akhirnya sampai di gerbong yang dituju.

Sekalian berdiri di gerbong ini aja, begitu kira-kira gumam saya dalam hati, saya kembali bertanya pada anak laki-laki itu “Kursinya nomor berapa dek?” ia pun terdiam, seakan tidak tahu dimana letak nomor kursi yang saya tanyakan itu. Lalu ia pun menyodorkan selembar tiket yang tak lain adalah tiket miliknya, “Oh ini, sini-sini...” kami berdua menelusuri lorong gerbong untuk mencari nomor kursi si adik dengan tiketnya yang masih ada di genggaman saya.

“Disini dek, ini” setelah ketemu, saya menyodorkan tiket miliknya dan menyuruhnya untuk duduk, ia pun mengucapkan terimakasih dan saya segera berlalu. Panas dan sumpek, adalah dua kata yang kira-kira menggambarkan suasana saat itu, saya harus berdiri di perbatasan gerbong bersama sekitar 3 atau 4 penumpang lainnya yang nasibnya sama seperti saya. Sesekali mata saya tertuju pada bangku si adik tadi dengan pikiran “Hebat, masih kecil udah berani naik kereta sendiri.”

--

Selama sekitar satu jam dengan kondisi kaki udah lumayan capek, saya masih berdiri, ditemani lantunan sayup-sayup suara seorang lelaki berbaju muslim dan memakai sarung yang membaca Al-Qur’an dan sedang berdiri di dekat pintu gerbong.

“Mbak, itu ada yang kosong, duduk aja” seorang lelaki paruh baya datang dan membuat saya yang tadinya setengah mengantuk menjadi tersadar, “Oh ndak usah pak, disini aja.” “Gapapa mbak, itu bangku saya, duduk aja, ini tiketnya”, tanpa disangka, lelaki itu memberikan tiketnya seakan berusaha meyakinkan saya bahwa ia memberikan bangkunya itu secara cuma-cuma. Awalnya saya ragu dan menjawab dengan “Lah bapak gimana?”, “Saya pengen berdiri kok mbak, duduk aja di tempat saya gapapa.”

Jengjengjeng, rejeki pun datang. Akhirnya kami pun saling bertukar tiket dan saya bergegas menuju nomor kursi milik bapak tersebut dan kembali bertemu adik lelaki yang sempat saya tolong tadi.



Hari itu, saya mendapat pelajaran berharga meskih berasal dari hal kecil yang tidak saya sangka dapat mendatangkan kemudahan saat ada kesulitan menerpa untuk diri saya sendiri. Saya duduk sambil bernapas lega, rupanya bila kita ikhlas membantu orang, maka bantuan akan datang dengan sendiri kepada kita. 

Seperti kata pepatah "Saat kita menolong orang lain, di saat yang sama kita menolong diri kita sendiri."

--

Cerita ini saya publikasikan bukan berniat untuk pamer, 
melainkan hanya untuk berbagi dan memotivasi untuk berbuat baik. :)

Komentar

Postingan Populer