Sebatas Deretan Angka
Tak lagi ada kejutan,
saat ia kini hanya menjadi deretan angka yang tersusun rapi.
Empat semester sudah saya mengenyam pendidikan di SMK, tak terasa tinggal setahun lagi akan meninggalkan sekolah dan memulai kembali perjuangan yang nyata. Kemarin, adalah hari dimana rapot yang katanya hasil jerih payah pelajar untuk satu semester dibagikan.
Tak ada perasaan gusar maupun gundah, bahkan sama sekali tak ada rasa senang atau penasaran. Rapot tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan, saat mengerti bahwa nilai di dalamnya hanyalah sekedar angka yang terkadang tanpa kita sadari didapatkan dengan cara yang tidak jujur.
Sejak kecil, kedua orangtua saya
menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak-anaknya, saya rasa pastinya semua orangtua mengajarkan hal yang sama. Diajarkan untuk
jujur, bukan berarti saya tak pernah berbuat curang dalam konteks apapun,
termasuk saat ujian, yang ada di pikiran saya kala itu bahwa saya harus
mendapat nilai yang bagus agar tidak membuat kedua orangtua saya kecewa.
Stigma semacam inilah yang tertanam pada pelajar jaman sekarang, tuntutan nilai yang tinggi dari sekolah membuat mereka mendapat tekanan bahwa nilai yang didapatkan harus diatas rata-rata. Sayangnya, sekolah bukan lagi tempat dimana kejujuran ditanamkan pada muridnya, bahkan kini berlomba menjadi sekolah terbaik dengan mengakumulasi nilai rapot. Jadi, tidak perlu heran bila yang tak pandai pun bisa mendapat nilai 9 hampir di tiap mata pelajaran.
Stigma semacam inilah yang tertanam pada pelajar jaman sekarang, tuntutan nilai yang tinggi dari sekolah membuat mereka mendapat tekanan bahwa nilai yang didapatkan harus diatas rata-rata. Sayangnya, sekolah bukan lagi tempat dimana kejujuran ditanamkan pada muridnya, bahkan kini berlomba menjadi sekolah terbaik dengan mengakumulasi nilai rapot. Jadi, tidak perlu heran bila yang tak pandai pun bisa mendapat nilai 9 hampir di tiap mata pelajaran.
Bila kata pepatah jujur itu
menyakitkan, memang benar adanya. Saya merasakan beberapa pengalaman pahit
ketika mengungkapkan kejujuran. Ditinjau dari segi manapun jujur memang selalu benar,
tetapi tidaklah selalu menang.
Pernah suatu ketika, saya merasa bahwa ingin segera lulus karena suntuk berkutat dengan persaingan yang kotor di sekolah. Saat itu, rasanya ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya, namun saya sadar bila tiap keputusan yang kita ambil selalu memiliki resiko.
--
Pernah suatu ketika, saya merasa bahwa ingin segera lulus karena suntuk berkutat dengan persaingan yang kotor di sekolah. Saat itu, rasanya ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya, namun saya sadar bila tiap keputusan yang kita ambil selalu memiliki resiko.
--
Banyak hal yang saya rindukan
ketika menerima rapot, seperti pengungkapan rasa bahagia dari kedua orangtua,
atau mungkin hal kecil seperti pemberitahuan peringkat yang cukup membuat lega, seakan perjuangan satu semester dibayar tuntas dengan sebuah peringkat
yang tidak mengecewakan.
Sayangnya, semua kerinduan hanya
tinggal kenangan. Tak ada lagi yang menarik ketika membuka sebuah buku berisi deretan angka dan daftar
nama pelajaran yang bernama rapot. Jangankan penasaran dengan peringkat, ketika
mendengar kabar bahwa tidak tinggal kelas pun rasanya lega.
Sebatas deretan angka bertinta hitam kini hanya mengias lembaran demi lembaran kertas putih yang dijilid menjadi satu. Terimakasih, karenamu tidak lagi menghadirkan kejutan.
Sebatas deretan angka bertinta hitam kini hanya mengias lembaran demi lembaran kertas putih yang dijilid menjadi satu. Terimakasih, karenamu tidak lagi menghadirkan kejutan.
tujuan belajar adalah mencari ilmu bukan mencari kesejahteraan semakin banyak ilmu yang kamu dapat kesejahteraan akan datang dengan sendirinya
BalasHapus