Identitas Atau Formalitas?

Jumat sore, seperti biasa saya pulang ke rumah menggunakan kereta bersama salah seorang teman. Jam telah menunjukkan pukul setengah 5, namun kami masih berada di angkutan umum karena suasana jalan raya cukup padat, padahal keberangkatan kereta kami adalah pukul 16.49. 

Solusi terbaik bila kami berdua telat adalah berangkat ke terminal lalu mencari bus, walaupun uang di dompet hanya tinggal 24 ribu alias mepet banget kalau buat naik bus dan naik angkutan umum ke terminal, belum lagi angkutan umum untuk ke pusat kota di Sidoarjo. Ko malah jadi curhat?

Untungnya, kami sampai sekitar 2 atau 1 menit sebelum kereta berangkat, turun dari angkutan umum, dengan lari sprint, kami pun membeli tiket dan bergegas ke jalur dimana kereta berada. Sesampainya di gerbong, saya segera mencari tempat duduk yang masih kosong.



“Nggak dapet tempat duduk ya, mbak?” 
tanya seorang Ibu paruh baya yang berada tepat di sebelah tempat duduk saya.

“Iya buk, beli tiketnya ndadak..”

“Rame ya mbak, padahal belum juga weekend.”


Saya hanya membalas dengan anggukan dan ketawa kecil. Dari kesan pertama, dapat disimpulkan bahwa Ibu sebelah saya ini adalah seseorang yang ramah. Suasana kereta cukup ramai, terlihat beberapa orang yang tidak mendapat tempat duduk berdiri di pembatas antar gerbong. Di depan tempat saya duduk, ada seorang Ibu yang sedang tertidur pulas dan laki-laki yang umurnya mungkin sekitar 20 tahun, bisa dibilang mas-mas gitu deh. Ibu sebelah saya beberapa kali bertanya ke mas tersebut pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya wajar ditanyakan pada orang yang baru dikenal alias buat basa-basi aja, seperti asalnya darimana, kerja dimana dll.

Saya yang bosan, terpaksa hanya mendengarkan percakapan mereka berdua sembari sesekali menoleh ke arah si Ibu. Tidak berapa lama kemudian, Ibu yang berada di depan saya terbangun dan beberapa menit setelahnya terdengar suara adzan dari handphone seseorang. Ya, waktunya buka puasa. 

Hampir semua orang di gerbong mengeluarkan perbekalan mereka dan memulai buka puasa, termasuk saya sendiri. Ibu sebelah saya masih dengan keramahannya menawarkan gorengan yang jumlahnya tak banyak pada saya dan dua orang di depan kami, saya yang kebetulan sudah membawa kurma, menolak dengan halus tawaran Ibu tersebut. Kalau dipikir sih, tega banget saya minta gorengan si Ibu yang cuma beberapa biji saja.

Tiba-tiba si Ibu menyeletuk “Masnya puasa?”, saya tahu mengapa Ibu sebelah saya bertanya seperti itu, mungkin karena si mas tidak meminum air seteguk pun. Si mas hanya menggeleng pelan, membuat saya dan si Ibu tertegun atau mungkin bertanya dalam hati : Ha? Masnya nggak puasa?. 

Tanpa diduga si Ibu bertanya lagi “Non muslim?”, si masnya pun menjawab “Muslim”, dengan raut wajah yang sedikit tak enak dan nada yang canggung. Tapi jika dipikir, hal semacam ini tak perlu ditanyakan karena sudah menyinggung pada hal yang terlalu pribadi. 

Si ibu pun bertanya kembali, “Kenapa ndak puasa, mas?”, dengan santainya si mas menjawab “Nggak aja hari ini.” Mendengar hal itu, saya menelan mudah dan lumayan terkejut, karena pada mulanya saya kira si mas baru saja melakukan perjalanan jauh atau seorang musafir, namun rupanya sangat berbanding terbalik, seakan menganggap puasa Ramadhan bukanlah suatu kewajiban baginya.

Itulah pertanyaan terakhir yang diajukan Ibu sebelah saya pada mas yang berada tepat di hadapan si Ibu, suasana terus hening hingga si mas beranjak dari tempat duduk, apalagi Ibu sebelah saya juga menunaikan sholat maghrib di tempat duduknya.

Mungkin stigma Ibu pada si mas telah berubah semenjak si mas mengungkapkan bahwa ia tidak berpuasa dikala umat Islam menunaikan ibadah wajib yang satu ini. Tak heran, di jaman sekarang, keyakinan terkadang sebatas identitas, dan ibadah yang dilakukan hanya sebatas formalitas. Miris.


***


Dalam postingan ini, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan si mas yang tidak berpuasa atau si ibu yang terlalu kepo dengan kehidupan orang lain, intinya saya hanya bercerita tentang realita yang saya alami kemarin sore. :)


Komentar

Postingan Populer