Jatuh Cinta pada Orang Asing

Terkadang cinta pada pandangan pertama lebih dahsyat dari jatuh cinta pada umumnya, tapi sayangnya dari banyaknya pengalaman jatuh cinta pada pandang pertama, hanya sedikit yang dapat tersampaikan, sebagian besar berlalu begitu saja. Saat berlalu begitu saja, kadang gue menyesal. Gue terlalu takut apabila nanti dari sekian banyaknya pengalaman cinta pandangan pertama, salah satunya adalah jodoh gue kelak, karena gue percaya bahwa takdir Tuhan bisa diubah dengan usaha kita sendiri. Siapa tahu jodoh gue adalah Adam Levine, Justin Timberlake atau Justin Bieber, tidak ada yang tahu. Maka dari itu, gue selalu memanfaatkan kesempatan dengan baik, misalnya sekedar basa-basi yang ujungnya malah kenalan, atau minta pin bbnya.

Tentang jatuh cinta pandangan pertama dan minta pin bb, gue jadi teringat kisah gue beberapa bulan lalu.


**


Sejak adanya sosial media, remaja jaman sekarang tidak khawatir gagal move on. Sosial media mempermudah orang untuk berkenalan tanpa harus bertatap muka, dan ujung-ujungnya malah jadian. Gara-gara ini, makin banyak abege alay yang nyepam timeline di twitter hanya untuk pacaran, jujur gue kesel dengan kaum muda mudi yang mengumbar kemesraannya di publik, waktu jadian saling mention ucapin selamat pagi atau sekedar tanya ‘udah makan belom?’, tapi waktu putus malah saling sindir dan saling ngeblock. Jadian bebi-bebian, eh putus malah babi-babian. Aneh. Makannya gue paling anti menggunakan sosial media sebagai tempat pelampiasaan galau atau sekedar cari cowo yang entar kalo pacaran ganti bio twitter jadi nama pasangan. Seleb tweet aja bukan.

Selain itu, maraknya akun-akun palsu yang selalu pakai ava palsu cowo-cowo ganteng atau cewe-cewe cantik dengan belahan dada yang meluber kemana-kemana, membuat banyak pengguna twitter jadi tergoda dan akhirnya tertarik, ujung-ujungnya juga jadian. Yang gue takutkan dari akun-akun palsu ini adalah niat dari pemilik akun, syukur-syukur kalau niatnya iseng, kalau niatnya ngga baik? Yang salah siapa? 

Kekesalan gue ini berasalan, karena temen gue menjadi korban dari akun palsu. Pasang ava cowo thailand dengan jumlah followers yang kalau di rupiahin udah bisa buat beli kerupuk sama pabriknya, akhirnya membuat temen gue yang satu ini terlena. Kesan pertama yang ada di pikirannya, cowo itu adalah seorang seleb tweet. Akhirnya mereka pun makin dekat, dan saat tau ternyata itu akun palsu, temen gue malah nangis bombay dan maki-maki sekaligus nyumpahin identitasnya bakal kebuka. Gue cuman bisa ketawa melihat kebodohan yang temen gue lakukan karena langsung percaya dengan orang baru.

Tapi sifat gue yang anti banget suka cowo di sosial media, sepertinya tidak berlaku pada cowo yang satu ini. Namanya Dwiky, dari nama emang sama dengan mantan gue, tapi untuk karakter, gue yakin beda. Berawal dari mentionnya yang dibalas Raditya Dika, gue jadi tertarik sama dia. Gue tertarik dengan Dwiky, bukan Raditya Dikanya. Entah mengapa pesona namanya yang menjadi ID twitternya membuat gue berkeinginan mem-follownya. Tanpa mikir panjang, gue pun ngefollow twitter sambil minta follback, karena pada jaman itu abege alay yang baru memfollow seseorang biasanya wajib minta follback “folbek dong qaqa”. Karena penasaran, gue stalk profilnya, apa kesukaannya, apa dia termasuk tipe abege labil apa engga, apa dia keren, apa dia ganteng, apa dia punya kumis kaya suaminya Inul Daratista? Atau apa dia jodoh gue? Sepertinya imajinasi gue terlalu jauh. 

Ternyata Dwiky ini adalah anak band, dan yang bikin gue nggak nyangka adalah dia beneran punya kumis. Tidak terlalu tipis, tapi juga tidak terlalu tebal, mungkin diameternya hanya tiga senti dengan ketebalan satu milimeter. Giginya gingsul dan senyumnya manis, gayanya modis ditambah kumisnya yang tipis, ajib! Tapi sayangnya di bio twitternya terpampang jelas nama seorang perempuan yang kalau gue rasa itu adalah pacarnya. 

Tau sendiri kan, anak jaman sekarang kalau abis jadian yang dilakuin pertama kali adalah ganti bio twitter dan update status di facebook menjadi “berpacaran dengan –“. Sebagai seorang cewe yang suka dengan orang asing, gue hanya bisa stalk profil twitternya sambil sesekali bikin tweet yang isinya sajak-sajak dengan tema cinta bertepuk sebelah tangan, gue udah mirip penyair yang gagal jadi seleb tweet. Untungnya followers twitter gue dikit dan sebagian juga tidak aktif, jadi mungkin mereka nggak bakal keganggu sama tweet-tweet alay gue.

Ada keinginan dari gue untuk bisa deket dan nggak sekedar kenal sebatas fansnya Radit, akhirnya gue tanya-tanya tentang kehidupannya, dari pertanyaan iseng sampai yang nggak penting juga gue tanyain, mulai dari dimana tinggalnya, siapa pacarnya, kapan bapaknya lahir, atau apa motivasinya jadi fansnya Raditya Dika? Semua gue tanyain, tujuan gue cuman satu, biar bisa deket. Siapa tahu dia jodoh gue. Ternyata dia setahun kurang lebih tua dari gue, kalau ibarat kelas sih dia jadi kakak kelas, tinggalnya di luar kota tepatnya Ponorogo. Wah bakalan ldr nih, iya gue emang ngarep.

Sayangnya dari jawabannya sepertinya sama sekali tidak tertarik dengan gue, gue juga sadar kalau dia udah nggak double alias single, gue tidak ingin menjadi api yang membakar dan akhirnya menghacurkan segalanya dalam hubungannya. Okelah kalau dia nggak tertarik, tapi gue yakin Tuhan punya banyak cara untuk mempertemukan kami. Hari demi hari gue masih menunggu, menunggu kapan si Dwiky putus sama pacarnya, ehem maksud gue menunggu kapan dia akan tertarik dengan gue. Gue bukan tipikal orang yang suka satu orang dan orang itu nggak suka gue, lalu gue bakal move on, tidak. Semua butuh proses, dan hasil tidak akan mengkhianati proses, gue yakin. Lama-lama gue capek buka twitter, tiap buka twitter yang gue lihat hanya mentionnya dengan pacarnya, mata gue panas, dada gue sesek, perasaan gue sakit, kepala gue pusing, lidah gue menjulur-julur, eh ini sakit hati atau kesurupan?

Hingga suatu hari gue melihat salah satu post di instagramnya yakni foto dirinya bersama beberapa temannya dengan sebuah majalah dinding ditengahnya. Kali ini yang bikin gue tertarik adalah majalah dindingnya, bukan Dwikynya, karena beberapa hari lalu gue juga mengikuti lomba mading. Gue pun mengkomentari postnya tersebut, bertanya dimana lomba mading yang ia ikuti diadakan. Siapa tahu lombanya diadakan di kota gue, sama seperti lomba mading gue kemarin. Setelah mengkomentari fotonya itu, gue mulai lupa, tidak pernah membuka instagram lagi dan membiarkan hape gue tergeletak di atas meja di kamar selama beberapa hari.

Sekitar 3 hari kemudian, gue iseng buka hape untuk sekedar mengecek sosial media, karena nggak ada kerjaan, gue pun membuka akun instagram. Scroll postingan following-following gue, like satu persatu, tiba-tiba gue jadi teringat akan foto Dwiky yang gue komentari. 

Segera mengecek profilnya lalu klik foto yang waktu itu gue komentari. Dan ia pun menjawab pertanyaan gue “Itu buat lomba di Surabaya.” Hah? Gue masih bengong, beneran nih di Surabaya, sayangnya jarak kota gue ke Surabaya nggak kaya lima langkah dari rumah, jarak dari Sidoarjo ke Surabaya membutuhkan waktu satu jam dan paling cepet empat puluh lima menit. Yang ada di pikiran gue saat itu hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya karena gue pasti tidak akan menghadiri lombanya, gue hanya berharap semoga dia bisa memenangkan kompetisinya. Amin.


**


Sore itu keluarga gue berniat untuk membeli sepatu sandal di sebuah mall yang letaknya di perbatasan Sidoarjo Surabaya, tapi mall ini lebih terkenal masuk wilayah Kota Surabaya padahal menurut batas teritorial dan letak astronomis wilayahnya jelas-jelas masuk dalam Kabupaten Sidoarjo. Kami pun berangkat, gue udah girang banget, jarang-jarang bisa nge-mall bareng keluarga, biasanya yang gue ajak nge-mall hanya temen gue, temen gue, dan temen gue. Sesampainya di mall, gue bersama nyokap sengaja turun di parkiran, bukan di lobby, takutnya kalau di lobby entar misah jadi repot harus cari-cari bokap dan adik gue di mall sebesar ini.

“Keluar, yuk..” tiba-tiba bokap gue ngajak keluar dari dapertment store. Lumayan cari angin, gue juga udah gerah, bau keringet Ibu-Ibu yang lagi shopping udah ngalahin bau parfum di dalam mall.

Gue, bokap, dan adik segera keluar untuk mencari udara segar, tapi bokap ngeliat sesuatu yang rame dikunjungin banyak orang. Dia pun bertanya dan ngajak kita buat ngampirin, aslinya gue males banget, mungkin itu cuman pameran mobil atau promosi kosmetik yang lagi dikeremuni Ibu-Ibu doyan belanja. Mungkin saja.

“Mbak, itu apa? Kok rame? Ayo kesana..” kata bokap gue terlihat antusias banget ngajak kita kesana.

Karena nggak mau ngecewain, akhirnya gue ikut bokap ke tempat yang rame-rame itu. Dari kejauhan gue ngelihat ada tulisan merk sebuah produk susu tinggi badan ternama, gue mencoba mengingat-ingat sepertinya familiar. Yak! Lomba mading! Dwiky! Seketika gue teringat akan itu, gue menyeret bokap tapi nggak berani bilang kalau disana ada orang yang selama ini gue incer lewat sosial media. Mungkin bokap gue heran, padahal tadi gue ogah banget untuk kesana. 

Dan benar, itu adalah lomba mading yang diadakan oleh sebuah merk susu, karena ramenya pengunjung yang ingin melihat, akhirnya kami mengurungkan niat untuk masuk dan lihat-lihat. Setelah puas berbelanja, nyokap pun ngampirin kita dan ngajak untuk beli roti lalu pulang. Gue hanya bisa pasrah, berharap ada keajaiban yang mengantarkan gue bertemu dengan Dwiky, meskih mustahil. Sesekali membujuk nyokap buat nganterin masuk, meskih akhirnya sempat masuk dan lihat-lihat mading, tapi gue tidak melihat batang hidung si Dwiky, dimana dia? Mungkin Tuhan tidak ijinkan kami bertemu.

Kami pun akhirnya lihat dari lantai atas, suasana udah rame banget, gue hanya bisa menyelinap diantara banyaknya umat manusia. Sambil lihat-lihat dari lantai atas, gue mengamati, yang ada di pikiran gue hanya “mana Dwiky?” “mana Dwiky”.

“Ada temenku yang ikut lomba itu, tapi aku nggak tahu yang mana tempat madingnya” kata gue kepada nyokap.

“Dari sekolah mana?” nyokap gue bertanya.

“Nggak tahu, pokoknya dia dari luar kota, kalau nggak salah kota yang huruf depannya P, umm.. apa ya namanya? Tapi aku tahu anaknya, tahu mukanya kok..”

Nyokap gue tidak menjawab, dia seakan menganggapnya tidak penting, padahal bagi gue sangatlah penting. Nasib gue dengan Dwiky bisa saja berubah, tapi gue belum memiliki keberanian untuk bertemu dengannya nantinya. Mata gue tertuju pada seorang lelaki yang memakai kemeja berwarna hijau toska, gue jadi teringat akan bio di akun instagramnya “green tosca”. Apa itu Dwiky? Yang menjadi ciri khas adalah kumisnya, untuk memastikannya, gue lihat kumisnya yang tipis-tipis mempesona. Ya, itu Dwiky! Gile!

“Itu temenku! Yang itu!!” gue ngomong ngotot banget sampe urat udah kaya mau copot. Berusaha meyakinkan nyokap kalau itu adalah temen gue, atau lebih tepatnya orang yang gue tunggu selama ini.

Tanpa pikir panjang, gue merengek untuk diantarkan ke lantai dasar, berharap bertemu Dwiky dan pertemuan itu bisa merubah segalanya. Di eskalator, perasaan udah nggak karuan, menyusun kalimat apa yang akan gue ucapkan nantinya. Gilak, gue nggak pernah segugup ini. Dengan sedikit berlari, kami pun bergegas masuk ke kerumunan tempat lomba tersebut. Gue menyelinap dan melewati ketiak orang-orang yang lagi nonton, emang bener ya, dalam situasi darurat, orang yang panik bisa ngelakuin apa aja, hal yang tidak mungkin sekalipun.

Ketika sampai di standnya, gue diem, bermaksud mengejutkannya, dan ia pun langsung menyapa gue “Hei..”. Kami pun saling bertatapan, bahkan ia sampai tidak mempedulikan seorang pengunjung standnya yang sedang bertanya. Awkward moment. Ia menjabat tangan gue dan gue tersenyum malu, sampe lupa kalau kesini bawa nyokap. Ia pun juga senyum dengan nyokap gue, nyokap senyum-senyum sambil beberapa kali berbisik di kuping gue, menyuruh gue untuk menanyakan beberapa hal perihal lomba ini. Ternyata dia lebih manis daripada foto avatar twitternya, mukanya lebih bersih, kumisnya lebih unyuk dan yang pasti bikin jantung gue serasa ketinggalan di rumah.

“Sampai kapan ini lombanya?” tanya gue sok akrab.

“Sampai jam 9 malem nanti”

“Oh gitu..” suasana garing, gue nggak bisa ngomong apa-apa.

Takut salah tingkah dan gue kayang nantinya, akhirnya kami pun pamit, gue menjabat tangannya dan memberikan senyum termanis padanya. Saking senengnya, kaki gue sampe menyandung sebuah kardus kosong milik stand mading sebelah, betapa malunya gue saat itu. Tiba-tiba nyokap suruh gue berhenti, dia bilang “udah minta pin bbnya?.” Hah? Buat apa gue minta pinnya? Sontak gue tertawa, namun sepertinya pertanyaan nyokap emang bener, gue harus minta pinnya saat itu juga! Masih dengan perasaan malu, gue balik lagi hanya untuk minta pin bb. Tangan gue ngejer, takut dikira gue ngarep dan ngejar-ngejar dia. Sejak hari itu, kami pun mulai akrab, and everything has changed. Sepertinya dia mulai tertarik dengan gue.


**

Anak band memang bukan selera gue, dandannya yang acak-acakan, rambutnya dibiarin terurai tidak berbentuk sampe jadi sarang ketombe dan suka pulang malem. Tapi beda dengan Dwiky, ia jauh dari semua itu, bahkan bisa dibilang 180 derajat berbeda, namun ada kebiasaan yang bikin gue ilfil yakni pulang malam. Ya, ia bisa dibilang boros, hampir setiap hari waktunya digunakan untuk nongkrong dan ngopi hingga larut malam. Tapi untungnya, tiap malem gue jadi ada temen ngobrol dikala insomnia, ia mengungkapkan semua keluh kesahnya yang ternyata masalahnya sama kaya gue. Dan kami pun memiliki kegelisahan yang sama.

Tak berselang lama semenjak pertemuan di mall itu, dan mengalami fase pendekatan, ia pun berkata “aku suka senyummu waktu pertama kali kita ketemu, ternyata Ibumu nggak sia-sia nyuruh kamu minta pin bb haha. Atau jangan-jangan Ibumu yang suka aku“ gue yakin itu hanya bercanda tapi berhasil membuat gue terbang mengudara ke angkasa. 

Tanpa diduga ia akhirnya mengakui satu hal “aku suka seseorang, tapi kalau aku pacaran sama dia, pasti bakal nggak enak, bakal beda kaya orang pacaran pada biasanya” lalu dengan polosnya gue menjawab “aku suka sama anak, dia gayanya keren, kerenlah pokoknya”, “nah, itu pasti aku”. Sebelum gue bilang, dia udah nyadar, atau mungkin udah ge-er duluan. Karena saling tahu bahwa kita nggak akan pernah bisa bersama, akhirnya dia bikin komitmen kalau kita harus sama-sama bisa jaga perasaan. Baru pertama kali gue suka sama orang, yang jauh, yang bikin bahagia, dan membuat kita untuk berusaha menjaga perasaan meskih sama-sama tidak terikat status.

Hari demi hari gue udah ngerasa beda, dia makin ngejar-ngejar gue, sementara gue makin sering menghilang. Rasa nyaman udah berubah jadi rasa bosen, ibarat kopi udah tinggal ampasnya di dasar gelas yang pahit. Pengen gue muntahin saat itu juga, tapi semua tidak semudah itu karena suasana udah beda. Gue capek, gue bosen, dan gue berubah. Chatnya sering tidak gue hiraukan, padahal dulu gue sangat mengharapkan hal itu.


Akhirnya kita sadar kalau nggak bisa selamanya kaya gini terus, gue yang memulai, gue pula yang mengakhiri. Ia bahagia dengan hidupnya sekarang, dengan seorang temen ceweknya yang berhasil menggantikan gue juga membuatnya bahagia, begitu juga dengan gue, sibuk, bahagia, dan tenang dengan kehidupan sekarang yang tanpa dia. Gue tidak pernah menyesal mengenalnya, meskih pernah menunggu dan tak dihiraukan, dan kini malah ditunggu serta diperhatikan, karena gue tahu, roda kehidupan terus berputar. 

Ada kalanya gue sangat menyukainya sebagai orang asing, ada kalanya juga gue sudah mendapatkan semua itu dan harus keluar dari zona nyaman. Namun kami sama-sama bahagia, dengan jalan yang Tuhan berikan, karena banyak jalan untuk bahagia.




lagi-lagi no sensor nama tokoh biar greget :v

Komentar

  1. Apalah tadinya minta aplot foto sang terdakwa, eh ternyata nama pun disensor.. Hahah.. :D

    Begitu ya kehidupan anak muda? Aku sih sebagai angkatan tua berasa gimana gitu bacanya. Wkwkwk.. Cupu banget pacaran mesti yang dikenal lah, sodaranya temen lah.. Basi.. Nah ini berawal dari twitter.. :P

    BalasHapus
  2. Terkadang hubungan yg jelas maupun tidak jelas berawal manis dan berakhir pait juga ya, aku sempet juga pernah ngerasain itu sama orang tapi belum pernah tersampaikan hehe
    nice post girl. nice to meet ya.

    http://litarachman.blogspot.com/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer