Akibat Salah Ukuran



Novianti adalah salah satu teman yang akhirnya menjadi sahabat gue. Dia cantik dan pinter, terbukti ia menjadi seorang juara kelas. Banyak hal yang unik dari Novi. Oke, ini unik, bukan abnormal, beda! Hal unik yang dia lakuin salah satunya adalah ber-ekspresi konyol secara tidak terduga dan tidak pada tempatnya. Eits, dia masih normal lo. Menurut gue dia baik dan perhatian, kita sering kemana-mana berdua, dari mulai ke kantin berdua, berangkat les berdua, ke toko buku berdua, jalan-jalan berdua dan yang pasti nggak akan pernah ada kejadian kedapetan boker setoilet berdua meskih Nothing Possible sih. Novianti adalah perempuan normal, maka dari itu lah ia berhak jatuh cinta, dan kisah cintanya bermula saat kami sama-sama duduk di kelas 1 SMP. Apa yang dirasain Novi pasti tau lah yang sudah ngerasain gimana jatuh cinta, makan susah, mandi gundah, dan tidur pun menjadi tak nyenyak, kalau berak susah itu sih kurang serat, cyiin.

Novianti merupakan sahabat pertama gue di SMP. Gue nyaman sama dia, dia nyaman sama gue, dan akhirnya kita jadian. Enggak, enggak gitu, walaupun kita sama-sama lagi jomblo tapi kita bukan salah satu kaum yang termasuk dalam spesies lesbian di Indonesia. Banyak pengalaman yang sudah kita lalui bersama, dan salah satu contoh pengalaman konyol gue sama dia adalah ..... *mulai jadi dalang*

Jadi pada saat itu, di suatu sore yang cerah, gue dan si Novi berencana untuk bersepeda sore. Niat kami sudah bulat, sore itu kami berangkat dengan menggunakan sepeda pancal masing-masing.

“Eh, kita mau kemana?” tanya gue di sela-sela perjalanan.
“Enaknya kemana?” si doi malah balik tanya.
“Lagi bokek nih .. “
“Sama” ia hanya menjawab dengan satu kata yang penuh makna, dan penuh cerita. Oke stop, abaikan.

Sambil bersepeda, kita berfikir mau kemana kita nanti. Maklum, saat itu gue lupa bertanya ke peta milik Dora, jadi tujuan kita belum ada di depan mata seperti kartun Dora biasanya yang menampilkan apa saja yang akan dilewati si Dora dengan monyet birunya tersebut. Kita bingung, sampai pada akhirnya tercetuslah salah satu nama restoran cepat saji di kota kami, sebut saja namanya Ex Cafe. Cafe yang kami maksud bukan yang menyambut tamunya dengan cewek-cewek seksi yang menggunakan rok 10 centi di atas lutut dan lampu remang-remang di setiap sudutnya. Bukan seperti itu, cafe yang kita masuki adalah restoran cepat saji yang menjual beraneka ragam masakan ala Eropa dan Timur Tengah, seperti pizza, hotdog, atau burger, sambosa atau kebab. Setelah menaruh sepeda kami di parkiran cafe, barulah kami masuk dengan dada membusung bak seorang raja. Ya, memang pembeli adalah raja.

“Ini” kata sang pelayan menyambut kami dengan begitu tidak hangatnya.

‘Ih nggak ramah banget’ fikir gue. Pelayan pun kembali ke bangku tempatnya bersantai, bukannya malah nunggu kita untuk mencatat pesanan. Bagi pelajar kere seperti gue, yang dilihat pertama kali dalam daftar menu di cafe adalah dereta angka di bagian samping kanan.

Kalian tahu apa itu? HARGA!

Bagi gue harga adalah prioritas utama, bukan kualitas, jadi enak atau enggaknya belakangan yang penting nggak bikin kantong jebol cuman gara-gara makanan dengan harga bombatis tapi isinya nggak sampe seujung jari. Akhirnya daripada lama-lama mikir cuman buat bingung mau pesen apa, gue menunjuk salah satu dari banyak deretan nama makanan yang tertera di menu, Pizza Meat Lover, harganya sih lumayan yakni sekitar 20.000-an. Lebih tepatnya lumayan murah. Gue memutuskan untuk berdiri dan berjalan menuju ke kasir, berniat untuk memesan dan menyerahkan dua lembar daftar menu. Kita bermaksud memesan pizza yang berukuran kecil alias mini, tapi hal itu gagal saat gue lupa menyebutkan ukuran dari pizza yang kita pesan tersebut. Gue duduk anteng, nggak sadar akan kesalahan lupa menyebutkan ukuran pizza, sibuk ber-hpan ria dan update status di twitter, tak ketinggalan update location di path serta foursquare. Nggak segitunya juga ding hehe, kita cuman setia menunggu, menunggu dan menunggu meskih belum juga mendapat kepastian.

Setelah menunggu hampir sekitar 10 bulan lamanya, eh itu nungguin gebetan peka apa nungguin adek lo lahir ya? Yang pasti tidak selama itu, kira-kira sekitar 15 menit-an pizza yang sudah kita pesan pun meluncur di meja yang kita tempati.


“Ini nggak sepaket sama minumnya, Mas?”
“Gile lu, ndro!”

Fikiran gue yang pertama saat tangan mas-mas penjaga cafenya mendarat mulus di meja kita adalah mendapat gratisan minum, kali aja anak sang pemilik cafe baru saja melangsungkan sunat atau mungkin perayaan hari jadian dengan istri simpanan pemilik cafe, gue berharap cemas hal itu terjadi. Tapi sayang harapan tinggal harapan, hal itu tidak terjadi dan kemungkinan yang terjadi saat gue minta minuman gratis adalah percakapan seperti diatas tadi. Miris. Daripada menunggu akan datangnya suatu kepastian yang tidak pasti dari mas-mas penjaga cafe, dengan berat hati kita memustuskan untuk mengambil sendiri minuman yang ada di lemari pendingin, takut apabila kita mati di usia dini akibat tersedak sepotong pizza dengan paprika hijau yang berdiri diatasnya, jadi tersedak dengan posisi rahang kita membuka. Ah sudahlah, lupakan. Imajinasi gue kelewatan batas, kembali ke topik. Sedang enak menikmati pizza, tiba-tiba terjadilah percakapan seperti ini:


“Er, ini kok pizzanya besar ya? Nggak salah pesen?” pertanyaan Novi sontak menganggetkan gue.
“Engga kok, bener. Tadi gue pesen pizza Meat Lover” jawab gue untuk meyakinkan si doi.
“Ukurannya?”
“Ummm..... ya....em......” seketika gue gagap, lidah kelu, bibir pecah-pecah, tenggorokan kering.
“Nggak salah pesen? Kita harusnya pesen yang ukuran mini, kamu pesen yang medium mungkin”


Seketika rasanya pengen muntahin semua makanan yang udah gue telen, terus gue tata rapi kembali di atas piring tanpa satu pun yang tertinggal di perut gue. Tapi hal itu tidak terjadi, gue berusaha berfikir positif dan tetap tenang mengunyah. Sedih kalo beneran gue salah pesen, gue bayangin pas di kasir terjadi hal-hal yang dramatis, tidak realistis seperti sinetron-sinetron Indonesia.

             “Mbak, totalnya tujuh puluh tiga ribu rupiah”
“Mas, mau ngerjain saya ya? Ini bukan april mop! Atau mas mau modusin saya biar dapet nomer ha-              pe saya, karena itu mas cari bahan-bahan percakapan seperti itu?”
“Mbak, mau ribut sama saya atau cari-cari alasan karena nggak bisa bayar”

Suasana hening, sontak seekor burung elang datang di hadapan gue dan dengan begitu sigapnya gue naik ke atas burung itu tanpa basa-basi. Jeng... jeng jeng... ternyata elangnya ngga bisa terbang, sedih bro. Tapi untungnya, semua hanya bayangan belaka di fikiran akibat keparnoan gue. Kita makan begitu lahap awalnya, sampe perkataan Novi tadi membuat nafsu makan menjadi hilang seketika. Minuman yang kita pesan cuman minuman kemasan biasa, nggak ada namanya minuman-minuman mewah dengan harga selangit dan nama-nama yang begitu aneh. Itu bukan restoran Pizza Hat *nama disamarkan*, tapi kw supernya. Ya jelas cafenya sepi, orang pelayannya aja nggak ramah. Sektika mood menjadi berantakan, gue memaki si mas-mas cafe dalam hati gara-gara pelayanannya yang nggak ramah, ditambah lagi ucapan Novi yang membuat ingin segera menyelesaikan kunyahan dan pergi meninggalkan cafe.

“Udah?”
“Udah, eh bentar-bentar, kumpulin uang disini dulu”
Dengan begitu memalukannya, kita menghitung uang masing-masing diatas meja.
“Seribu... dua, tigas, empat......” gue ngitung dengan nada menghitung seperti anak TK baru lulus.

Setelah dijadikan satu, barulah kita membayar. Uang kami recehan dan pecahan, kalau bisa diulang, gue bakalan minta sama Tuhan biar semua uang di genggaman kami berubah menjadi dolar dan lembaran rupiah berwarna merah. Kita benar-benar malu, suara logam saling berdentingan pun terdengar.
“Mas, mau bayar. Berapa semua?”

Si masnya dengan sigap menghitung total makanan kami, nggak tanggung-tanggung, ngitungnya pun masih manual. Kalah kere gue, masa di cafe seperti ini masih pake aritmatika sih, kenapa coba nggak pake kalkulator biar praktis? Kembali, gue memaki-maki dalam hati, kali ini gue memaki manajemen cafe. Sambil menunggu masnya komat-kamit baca mantra, eh maksudnya komat-kamit hitung pesanan kami, gue berdoa dalam hati semoga tidak terjadi hal yang tadi gue bayangkan.

“Totalnya lima puluh satu ribu lima ratus” si masnya berkata dengan semangat, penuh harap kita bakalan kasih uang lebih sambil berkata ‘Kembaliannya buat mas aja’.

Kita menghitung kembali, berharap ternyata masih ada sisa di kantong celana. Dan setelah dihitung, diketahuilah hasilnya bahwa uang kita kurang sebesar.... jeng jeng jeng........ seribu lima ratus ribu rupiah. Deg! Jantung gue seakan masih di bangku yang kita tempatin tadi, seakan masih ketinggalan disana. Rasanya pengen banget dunia berhenti berputar, gue pause sejenak untuk mengambil uang ke rumah sendiri dan menebus segala hutang-hutang gue sama masnya. Ya, namanya juga khayalan, jarang jadi kenyataan bro. Sabar. Mana elang terbang? Mana emak gue? Mana dompat gue? Semuanya di rumah, kecuali elang terbang. Pengen gue ke rumah dianterin elang terbang, kalau ada sih. Gue dan si doi bingung bukan kepalang, muter-muter cafe sambil bilang ‘Tolong!’,  sujud hadep kiblat, sampe telepon ambulans pake sepatu sendiri kaya di film-film komedi. Kalang kabut ora karuan, alias bingung sendiri tidak beraturan.

“Ini mas, uang kita......”
“Totalnya empat puluh sembilan ribu lima ratus, kurang 1.500, mas” tambah kita dengan posisi selakangan udah bergetar semua.

Hening sejenak. Gue nggak tau apa yang lagi dipikirin sama masnya, entah diam mikirin hukuman apa yang pas buat kita atau mungkin lagi ngumpulin tenaga untuk menghajar kami. Untuk hukuman kedua sih, solusinya gampang, tinggal laporin aja ke Komnas HAM, dan Komnas perlindungan anak&wanita, tapi untuk hukuman berupa ngepel atau nyuci itu mungkin yang nggak bisa gue bayangkan. Bakalan nggak pernah gue lupain sekalipun udah jadi nenek-nenek yang ingatannya ngga setajam sekarang ketika gue menulis buku ini. Menakutkan. Memalukan. Dua kata yang menggambarkan. Mungkin masnya juga batin, kalo ngga punya duwit nggak usah gaya makan disini.

“Bagaimana mas, apa kita pulang ke rumah dulu untuk ambil uang terus nanti kita balik lagi” kata si Novi hati-hati.

Maunya sih gue nambahin;

“Mas janji deh bakal kembali, sebagai buktinya ini temen saya si Novi jadi jaminannya, deh” sayangnya gue nggak punya banyak keberanian untuk mengatakannya.

Tiba-tiba dengan tidak terduga, datanglah seorang dengan postur tegap dan melangkah selayaknya orang bos, dan ternyata sosok tersebut adalah.... sang pemilik cafe. Hilang sudah harapan hidup gue, saat itu gue pengen pulang dan buat surat wasiat buat keluarga yang gue tinggalkan nantinya. Nggak tahu harus ngapain lagi, kita udah pasrah, diem persis kaya murid-murid yang tiba-tiba didatengin sama guru terkiller di sekolah.

“Pak, ini totalnya 51.500 tapi mereka cuman bawa 49.500” kata mas cafenya kepada bosnya.
Gue fikir ini urusan bakal tambah panjang, tapi dengan santainya si bosnya bilang:
“Oh gitu, nggak papa.”


Jeng jeng, parno udah kebangetan tapi ternyata respon Om pemilik cafenya ‘Oh gitu, nggak papa’ petir menyambar-nyambar, gunung merapi mengeluarkan laharnya, dan kambing jantan milik tetangga melahirkan. Ini kiamat atau apa ya? Oke lupakan, beberapa detik yang meneganggkan tadi bener-bener bikin adrenalin terpacu. Setelah mendapat pernyataan bahwa kekurangan kita dimaklumi, dengan menahan malu, kita pun memutuskan untuk melangkah keluar dari cafe. Kita batin, berharap nggak ada securiti yang setelah itu ngejar kita dengan seekor anjing herder berwarna hitam. Gue sebenernya malu dengan segenap jiwa dan raga, tapi gue lebih kasihan sama pemilik dan penjaga cafe. Alasan gue kasihan adalah; gue dan si Novi adalah pelaris pertama, dan parahnya uang kita pun kurang. Hari itu gue menyimpukan bahwa cukup sekali aja gue kesana dan semoga nggak ada lagi hari sememalukan itu. Hiks .. *nangis di pojokan*






Komentar

Postingan Populer